Proses, Bukan Hasil
Proses, Bukan Hasil
Oleh Ratih Putri
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Prasyaratnya adalah ikhtiar
yang optimal dan do'a yang ikhlas. Hasilnya Allah yang akan menentukan.
Ada yang luar biasa dalam memahami proses dan hasil. Hasil adalah
konsekuensi logis dan tidak logis (baca:spiritual) dari proses yang
diusahakan.
Biasanya manusia kebanyakan menilai kesuksesan dari hasil yang didapat.
Berapa banyak deposito di bank, jumlah rumah, mobil yang memenuhi garasi
atau luas perkebunan yang dimiliki. Penilaian logis atas keberhasilan
seseorang dalam kacamata dunia. Namun, ternyata jauh lebih dalam
daripada itu terdapat sebuah nilai yang dahsyat. Yaitu bahwa hasil
positif dan negatif yang diberikan adalah sebuah ujian dan proses yang
dijalankan-lah yang dilihat oleh Allah.
Dalam kehidupan di dunia, tidak ada hasil akhir karena hasil dari sebuah
proses merupakan awalan dari proses yang lain, dan begitu seterusnya
hingga kematian menjemput. Oleh karena itu betapa beruntungnya manusia
yang dinilai dari proses bukan hasil-nya karena jika dinilai dari hasil,
maka betapa malangnya semua orang miskin di dunia. Sudah tidak sukses di
dunia, amalannya pun dinilai rendah. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Segala puji bagi Allah, yang memiliki pola penilaian tertinggi dan
hakiki terhadap kehidupan para hambaNya.
Ketika takdir ditetapkan atas diri seorang manusia, dasar pemahaman
ini-lah yang membuatnya mampu mengimplementasikan sikap sabar dan syukur
secara proporsional. Ketakutan (khauf) dan harapan (raja') pun berpadu
dalam kerangka penghambaan yang luhur karena kesuksesan dunia itu
dipergilirkan. Bersamaan dengan itu pula keimanan yang bersemayam
mencapai titik kulminasi.
Penilaian bukan dilakukan pada titik ekstrim atas-bawah pada roda
kehidupan, melainkan selama perputarannya menuju titik itu. Bagi seorang
hamba yang memahami falsafah ini dengan benar, maka seperti tidak ada
bedanya ketika ia berada di titik ekstrim manapun.
Dengan mengetahui bahwa penilaian terhadap hidup yang cuma sekali ini
didasarkan pada proses maka, tiada hari tanpa melalaikan waktu. Karena
proses adalah perjalanan waktu sedangkan hasil adalah waktu yang
terhenti sejenak, mungkin hanya se per sekian detik saja. Sehingga
produktivitas manusia akan mengalami progress yang menakjubkan. Seperti
yang telah digoreskan sejarah pada masa kejayaan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz, di mana semua orang telah mengalami apa yang disebut kesuksesan
dunia. Sampai-sampai para pemberi zakat harus mencari-cari kaum dhu'afa
ke seluruh pelosok negeri.
Ikhtiar yang optimal telah dilakukan dengan memahami kedudukan proses
terhadap hasil. Kini, tinggal menambahkan prasyarat kedua yaitu do'a
yang ikhlas. Keikhlasan merupakan simbol penghambaan yang mendasar,
bahwa Allah adalah penentu segala sesuatu. Do'a yang ikhlas bukan hanya
permohonan atas sesuatu, melainkan karena itu adalah kebutuhan dasar
manusia.
Manusia diciptakan dengan naluri untuk diayomi dan merasa tenang ketika
ada yang menjaganya. Karena itulah manusia mutlak bermuamalah. Namun,
manusia atau makhluk lain tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan ini
secara tuntas. Manusia membutuhkan pengayoman dan penjagaan setiap saat
dan hanya ada satu yang mampu, Allah, Yang Maha Besar.
Hal inilah yang menjadi pondasi kebutuhan manusia atas do'a. Jadi,
lantunan do'a bukan sebatas permohonan melainkan sebuah eksistensi
penghambaan manusia kepada Allah. Seperti yang dipahami benar oleh 'Umar
bin Khathab, 'Bukan karena ingin terkabul aku berdo'a, melainkan karena
aku ingin berdo'a maka aku berdo'a. Dan manakala aku mendapat ilham
untuk berdoa, terkabulnya do'a itu senantiasa menyertainya'. Kebutuhan
fitrah menyatu kuat dengan keyakinan ijabah menjadi syarat do'a ikhlas.
Allahu'alam.
Newspirit14@yahoo.Com
Comments